Penyakit TB (Tuberkulosis) Pada Anak Apakah Aib?

19 May 2025
dr. Melati Arum Satiti, Sp.A., M.Sc.
Kesehatan
About 10 minutes
56 views
banner

Selama saya berpraktik sebagai dokter spesialis anak, seringkali orang tua anak kalau anaknya didiagnosis terkena TB1 bisa dipastikan akan sangat terkejut. Sepertinya kalau bisa dokter diminta untuk menyatakan diagnosis penyakit yang lain walaupun jelas itu TB. Akibatnya saya harus menjelaskan panjang lebar dan juga dengan sangat sabar untuk bisa memahamkan, bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, asal orang tua disiplin dan bisa bekerja sama dengan dokter. Keengganan orang tua yang anaknya didiagnosis bisa jadi salah satunya karena sejarah tentang TB itu sendiri.

Penyakit ini walaupun sudah ada sejak lama, namun baru bisa diketahui pada akhir abad ke-19. Karena pada awalnya belum diketahui obat dan pencegahannya, karena penyakit ini menular maka dibuatlah kebijakan oleh pemerintah untuk memisahkan bagi yang terpapar penyakit ini dari populasi umum. Dan berkembangnya teori penyakit menular ini bisa disembuhkan dengan menghindari udara kotor, maka dibuatlah tempat-tempat pengobatan bagi penderita di tempat yang diyakini memiliki udara bersih dan banyak terpapar sinar matahari. Maka pegunungan atau tempat yang udaranya bersih dipandang menjadi tempat ideal untuk perawatan penderita TB.

Tak mengherankan bila pada jaman penjajahan Belanda kemudian banyak dibangun sanatorium di pegunungan yang berhawa sejuk dengan udara bersih sebagai fasilitas kesehatan untuk penanganan penyakit TB. Maka berdiri sanatorium di Puncak, Bogor. Juga di Pakem Yogyakarta, Dungus Madiun, Kota Batu Malang, Minahasa, Kabanjahe dan masih banyak lagi. Tentu saja penderita yang dirawat di sanatorium bisa juga dianggap sebagai seorang penderita yang diasingkan dari pergaulan umum karena menderita penyakit menular yang masih sangat sulit disembuhkan. Tentu saja bagi penderita TB maupun keluarganya seperti mendapat aib besar.

Dan saat itu karena terbatasnya fasilitas kesehatan pada umumnya para penderita baru diketahui setelah dalam kondisi sangat parah. Badannya kurus, sering batuk yang tak berhenti bahkan disertai darah. Kalau sudah parah maka kemungkinan untuk sembuh menjadi sangat kecil. Tentu saja kondisi ini membuat takut semuanya. Ya penderita, keluarga serta lingkungan masyarakatnya. Bahkan tidak hanya penderita yang dijauhi dari pergaulan umum keluarganya juga terkena imbasnya. Juga dijauhi. Takut tertular!!!

Kondisi ini tentu tidak jauh berbeda seperti pada awal merebaknya COVID-19 di Indonesia. Pada awal COVID-19 dinyatakan masuk Indonesia oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 Maret 2020 di Istana Negara, semua belum siap. Pemerintah, tenaga kesehatan, apalagi masyarakat, semua tergagap menghadapi virus yang belum ada vaksin dan obatnya serta sangat mematikan ini khsususnya bagi yang komorbit. Apalagi virus ini sangat mudah menular bahkan melalui udara.

Dalam waktu singkat, virus ini menginfeksi begitu banyak masyarakat Indonesia. Dunia kelabakan. Semua takut terkena dan tertular. Apalagi bagi yang dinyatakan positif terpapar COVID-19 cara pengobatannya juga harus diisolasi di rumah sakit rujukan COVID-19. Tidak boleh ditengok, ditempatkan di ruang perawatan (isolasi) tersendiri. Baru boleh pulang kalau sudah dinyatakan sembuh dan negatif dari virus. Dengan demikian seorang penderita kalau sudah dinyatakan positif harus siap-siap dirawat paling tidak satu bulan sampai dinyatakan negatif. Tak mengherankan bila seorang dinyatakan terpapar dan harus dirawat di kamar isolasi secara psikis langsung down. Bahkan ada seorang yang dinyatakan positif COVID-19 dan kemudian dirawat langsung membuat surat wasiat, seolah harapan hidup sudah tidak ada.

Dalam kondisi masyarakat yang masih demikian krisis, kebetulan saya baru lulus sebagai dokter spesialis anak dari FKUI. Saya dinyatakan lulus dari ujian nasional oleh kolegium pada akhir tahun 2019 dan disumpah pada bulan Februari 2020 diikuti kemudian tanggal 2 Maret 2020 COVID-19 dinyatakan masuk Indoneia. Tanpa pikir panjang saya minta ijin suami dan orang tua untuk menjadi relawan di RSUD Provinsi Banten yang saat itu membutuhkan dokter spesialis anak. Tentu saja awalnya semua keberatan. Siapa yang bakal merelakan dalam kondisi seperti itu orang yang disayanginya menjadi relawan COVID-19. Namun saya mayakini, justru dalam kondisi seperti itulah jiwa kemanusian saya tertantang. Dan juga berbekal ilmu kesehatan yang saya peroleh selama belajar di Negeri Belanda bisa saya terapkan dalam pandemi ini.

Pada bulan April 2020, ketika masyarakat dalam kondisi takut saya mulai berusaha membantu menjadi relawan sesuai kopetensi saya di RSUD Banten. Tidak hanya bekerja di klinis membantu menyembuhkan anak-anak yang terpapar COVID-19 dengan segala keterbatasan alat pada awalnya, tetapi saya juga menulis di salah satu portal nasional Validnews.com. Harapan saya, dengan menulis berbagai hal yang terkait dengan dunia kesehatan apalagi di tengah pandemi setidaknya bisa memberikan sumbangan edukasi kepada masyarakat.

Bayangkan, saat itu informasi yang tidak masuk akal banyak bersliweran di medsos yang isinya bermacam-macam tentang COVID-19. Ada informasi yang menyatakan bahwa COVID-19 tidak akan masuk ke Indonesia karena virus itu akan mati di negara yang berhawa panas. Ada lagi berkembang, mengkonsumsi bawang putih dapat mencegah penularan COVID-19, menyemprotkan klorin/alkohol ke seluruh tubuh dapat membunuh virus, minum alkohol dapat menyembuhkan infeksi virus Corona, berkumur dengan air garam dapat mengobati COVID-19 dll.

Begitu banyaknya informasi yang tak masuk akal bersliweran di medsos dan ditambah banyak yang hoaks itulah yang kemudian mendorong serta memanggil saya untuk ikut menulis dengan harapan memberikan pencerahan. Tak mengherankan bila pada masa pandemi COVID-19 menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika telah beredar secara luas 5.829 berita hoaks seputar COVID-19 dengan rincian, lewat Facebook 5.109, Twitter 577, Youtube 55, Instagram 52 dan TikTok 36 unggahan.

Komitmen saya untuk menjadi relawan penanganan COVID-19 di RSUD Banten pada awalnya ternyata tidak berbanding lurus dengan sikap masyarakat. Dengan disertai semangat juang untuk berbuat yang saya mampu lakukan, ketika saya harus mencari tempat pemondokan saja ternyata sulitnya minta ampun. Apalagi tahu bahwa yang akan mondok adalah dokter yang menangani COVID-19, justru pintu tertutup rapat-rapat. Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat ketika itu. Pemahaman tentang virus yang keliru akibat informasi berseliweran di medsos yang sering malahan menyesatkan menjadikan semua takut.

Untungnya Pemerintah Daerah Provinsi Banten dalam hal ini Dinas Kesehatan segera mengambil sikap. Tenaga kesehatan yang bertugas di garis depan dalam penanganan COVID-19 mendapat asrama. Tentu saja semua serba darurat. Asrama yang diperuntukan untuk tenaga kesehatan dulunya adalah rumah dinas pejabat yang kemudian disulap menjadi asrama untuk tenaga kesehatan khusus petugas yang menangani COVID-19. Maka terbantulah saya, mendapat fasilitas asrama.

Setelah hampir satu tahun COVID-19 masuk di Indonesia vaksin di temukan. Selanjutnya pada awal Januari 2021 Presiden Joko Widodo pertama kali mendapatkan vaksin. Dan dengan semakin banyaknya masyarakat yang mendapatkan vaksin maka terjadilah kekebalan komunitas yang menyebabkan semakin menurunnya penyebaran COVID-19.

Sesuai dengan Kepres No: 17 tahun 2023, maka sejak tanggal 21 Jui 2023 Pandemi COVID-19 di Indonesia dinyatakan berakhir oleh pemerintah. Namun luka dan cerita tentang Covid-19 masih segar diingatan kita bersama. Kondisi COVID-19 inilah yang tentunya saya kira tidak jauh berbeda dengan awal merebaknya TB ketika itu. Semua dihantui kecemasan dan ketakutan. Apalagi cara pengobatannya seperti bahkan sama dengan diasingkan.

Beruntungnya kemudian, vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG) untuk mencegah TB ditemukan pada tahun 1921, berangsur-angsur penyakit ini mulai dapat dikendalikan. Demikian juga obat dan metode pengobatan TB yang juga diketemukan maka angka kesembuhan semakin tinggi, maka lama-kelamaan sanatorium kemudian semakin kehilangan fungsi awalnya. Demikian juga semakin majunya teknologi kesehatan, angka kematian akibat TB dapat ditekan.

Namun sayangnya, semakin majunya teknologi kesehatan belum sepenuhnya merubah cara pandang terhadap penyakit TB. Sebagian besar orang tua masih memandang aib penyakit ini apabila menyerang putra-putrinya. Maka sesuai dengan awal tulisan saya di atas, masih banyak orang tua yang memandang lebih suka dokter mendiagnosis penyakit lainnya, artinya orang tua sering tidak terima (bahkan protes) kalau anaknya mendapat diagnosis TB dan apabila harus menjalani pengobatan TB.

“Lo dok, anak saya ini sudah mendapatkan vaksin lengkap, termasuk vaksin BCG mengapa masih kena TB?,” demikian kalimat protes yang sering saya terima. Itu dalih yang sebenarnya nggak mau mandapat diagnosis TB. Sebagai dokter spesialis anak saya harus menjelaskan satu persatu orang tua yang protest demikian. Bahwa anak yang mendapatkan vaksin BCG bukan berarti tidak akan terkena TB, kalau seandainya terkena akan tidak parah karena sudah ada imun di badannya. Namun banyak juga yang langsung menerima diagnosis saya kalau memang anaknya terkena TB. Malahan dengan disiplin dan tekun kontrol. Tentu saja menghadapi orang tua yang demikian kooperatif sangat senang karena ada jaminan akan mempercepat kesembuhan putra-putrinya.

Oleh sebab itu seorang dokter spesialis anak sudah semestinya tabah dan sabar. Apalagi menghadapi orang tua pasien anak yang tentu saja penyakit ini kalau tidak ditangani dengan baik akan mengganggu tumbuh kembang anak. Kalau dokter menghadapi penyakit anak apalagi akan mengganggu tumbuh kembang akan segera mencari akar masalahnya. Ketika seorang anak setelah melalui pemeriksaan lengkap dan dianalisis secara seksama oleh dokter kemudian mendapat diagnosis TB, orang tua mestinya tidak perlu panik berlebihan. Toh anak tidak akan diasingkan atau dirawat di sanatorium yang memakan waktu pengobatan lama. Dengan semakin majunya teknologi kesehatan anak tetap dalam kehidupan normal seperti anak lainnya. Beruntung diketahui lebih awal, sehingga segera dapat diobati dan golden time anak tidak terlewati, sehingga anak dalam masa pengobatan tumbuh kembangnya tetap terjaga dengan sempurna.

Dan perlu diketahui, menurut Kementerian Kesehatan mengutip Global TB Report 2023, bahwa Indonesia menempati peringkat kedua di dunia setelah India dengan istimasi kasus TBC baru sebanyak 1.060.000 kasus dengan kematian mencapai 134.000 per tahun. Coba kita bayangkan. Predikat nomor dua di dunia terkait kasus TB ini tentu menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Sekali lagi tidak perlu takut berlebihan apabila seorang anak mendapat diagnosis TB dari dokter. Penyakit ini bisa dicegah dan disembuhkan. Namun perlu kerja sama antara penderita, orang tua, dokter dan seluruh elemen masyarakat.

Bagi anak (orang tuanya) bila telah didiagnosis dan dinyatakan terkena TB harus disiplin minum obat dan kontrol sesuai anjuran dokter. Ketidaktaatan dalam meminum obat berpotensi bakteri ini akan resisten terhadap obat. Akibatnya kemudian penyakit akan semakin parah dan sulit disembuhkan. Kalau persoalan ini tidak mendapat perhatian bersama predikat nomor dua ini akan sulit dihilangkan atau setidaknya belum mungkin dikurangi. Pemerintah sebenarnya sudah tidak kurang menaruh perhatiannya pada persoalan ini.

Malahan baru-baru ini Kementerian Kesehatan sudah me-release bahwa salah satu orang terkaya di dunia sekaligus filantropis Bill Gates yang menyandang dana pengembangan vaksin TB yang baru dan Indonesia juga terbukti telah ikut terlibat dalam proses uji klinis fase 3. Timbul pertanyaan, mengapa harus ada pengembangan vaksin baru TB? Kalau boleh dianalogikan seperti terjadinya pandemi COVID-19, dengan adanya vaksin maka muncul berbagai varian baru. Oleh sebab itu perlu vaksin yang lebih efektif. Karena pengembangan vaksin ini perlu dana yang sangat besar maka Bill Gates demi kemanusiaan ikut turun tangan dalam membantu pendanaannya.

Kita semua pasti akan menunggu hasil vaksin TB baru untuk segera dapat diberikan kepada masyarakat luas agar kehidupan ini menjadi jauh lebih berkualitas. Tentu saja kita semua berharap, namun pesan yang bisa diambil dari semua peristiwa ini bahwa bakteri TB ini ada di sekitar kita. Terbukti negara kita menjadi nomor dua dalam kasus TB di dunia. Oleh sebab itu khusus kepada orang tua anak yang kemudian mendapat diagnosis TB dari dokter jangan kemudian merasa ini penyakit aib. Penyakit ini bisa dicegah dan disembuhkan. Demi masa depan anak-anak kita mari kita perangi bersama.

Referensi:

  1. Departemen Kesehatan RI, Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid I, Depertemen Kesehatan RI, Jakarta, 1978.
  2. Dirjen PP dan PL Departemen Kesehatan RI, Sejarah Pemberantasan Penyakit Di Indonesia, Dirjen PP dan PL, Jakarta, 2007.
  3. Ravando, Perang Melawan Influenza-Pandemi Flu Spanyol di Masa Kolonial 1918-1919, Kompas, Jakarta, 2020.
  4. Berita Dari Portal Kementerian Kesehatan, Kemenkes.go.id.

  1. Penyakit TB atau Tuberkulosis sudah lama dikenal, dan umum masyarakat menyebutnya dengan berbagai sebutan seperti “flek paru,” “batuk darah,” “batuk kering,” dan sebutan lainnya. 

Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.

- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -