Mengapa Saya Harus Mengambil Master Kesehatan di Luar Negeri

29 Apr 2025
dr. Melati Arum Satiti, Sp.A., M.Sc.
Pengalaman
About 9 minutes
442 views
banner

Begitu lulus dan diambil sumpah sebagai dokter umum dari FKUI, sampai di rumah saya ditanya oleh bapak saya,”Terus rencanamu kemana setelah lulus ini.” Secara spontan saya langsung menjawab, bahwa saya ingin langsung mendaftar PTT. Dan saya ingin mencari pengalaman sebagai dokter PTT di luar Jawa. Harapan saya, ilmu saya akan dapat diaplikasikan di lapangan sekaligus menambah jam terbang sebagai dokter.

Bapak saya langsung tertawa mendengar jawaban saya. Karena dianggap jawaban saya dan langkah saya biasa saja dan tidak out of box. Sama yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bapak saya selalu mengatakan kepada saya, kalau ingin maju cara berpikir dan bertindak harus satu langkah di depan teman-teman.

Saya masih ingat apa yang dikatakan bapak saya,”Bapak sudah bisa menebak jawabanmu. Pasti kamu akan ikut PTT. Kenapa harus ikut PTT. Semua dokter yang baru lulus pasti ikut PTT. Kecuali kalau yang ikut PTT sedikit. Khan saat ini antri yang mau PTT. Baru nunggu dipanggil saja perlu waktu setahun. Bahkan bisa jadi lebih lama. Habis itu, satu tahun kemudian kamu menjalani PTT. Berarti paling cepat waktu dua tahun dalam persiapan dan palaksanaan kamu menjalani PTT. Bapak berani tebak, habis itu kamu mau neruskan spesialis. Ya khan!.”

Saya kemudian menjawab betul, dan memang kondisinya waktu itu demikian. Setelah PTT umumnya para dokter termasuk memang saya mau meneruskan dan daftar untuk mengambil spesialis anak dan itu sesuai cita-cita saya sedari kecil. Kemudian saya ganti bertanya kepada bapak saya, apa bapak saya punya pandangan lain. Kemudian bapak menjawab,”Kalau kamu mau maju cara berpikir dan bertindakmu harus satu langkah di depan teman-temanmu. Apa tidak terpikir olehmu mengambil master di luar negeri dulu. Bahasa Inggris kamu khan bagus. Nantinya, temanmu masih PTT, kamu sudah pulang dan mandapat master dari luar negeri. Kita harus jujur, ilmu pengetahuan saat ini yang maju di negara Barat. Oleh sebab itu harus belajar ke sana.”

Saya betul-betul tidak hanya kaget, tapi terkejut. Tidak pernah terpikir sama sekali sebelumnya. Saya betul-betul menjadi tersadar. Seperti tersadar dari tidur. Kenapa saya tidak punya pikiran sama sekali seperti itu. Bukan bapak saya tidak boleh ikut PTT, karena untuk ikut PTT harus mengantri. Kecuali kalau tidak ada yang mau ikut PTT, pasti bapak saya memperbolehkannya. Dan memang harus saya akui bahasa Inggris saya cukup bagus. Sejak SD saya selain suka ilmu pasti juga suka pelajaran bahasa Inggris. Karena juga ditunjang sudah kursus bahasa Inggris sejak SD. Bahkan sampai SMA saya tetap kursus di lembaga kursus bahasa Inggris ternama dengan native speaker di Surabaya. Dan bayarnya juga cukup mahal untuk ukuran waktu itu.

Saya akui kedua orang tua saya kalau masalah pendidikan sangat mengutamakan sekali. Berapapun biaya untuk kemajuan putra putrinya tidak pernah berpikir dua kali. Tapi jangan sekali-kali minta sesuatu kepada orang tua hal yang dianggap konsumtif, tas, baju, sepatu merk yang mahal. Apalagi seperti mobil, waduhhhhhh pasti ditolak mentah-mentah. Nggak bakalan dibelikan. Alasannya juga sederhana sekalian untuk medidik putra-putrinya. Pertama agar tidak berpola konsumtif. Kedua, agar menghargai uang karena mencari uang itu susah. Ketiga yang terpenting katanya,”agar besok kalau sudah bisa mencari uang dengan cara yang baik bisa merasakan nikmatnya membeli barang yang dikendaki dengan hasil keringat sendiri.” Kalau segalanya masih minta dan semua permintaan dituruti dikhawatirkan tidak punya kepekaan dan tidak pernah bisa merasakan nikmatnya bisa membeli dari keringat sendiri.

Kemudian saya bertanya, bagaimana dengan biayanya untuk kuliah di luar negeri khan mahal. Bapak saya bilang, tentu harus dengan mencari beasiswa. Kalau dengan biaya sendiri tentu orang tua tidak akan mampu. Walau bapak waktu itu sudah termasuk pejabat tinggi di kementerian, karena bapak termasuk orang yang memiliki karier yang cepat, bagus dan betul-betul dibangun dari bawah. Saya juga tahu persisi bapak saya sejak jadi pegawai termasuk PNS yang tidak neka-neka, lurus kalau soal keuangan. Dan pastinya tidak cukup punya uang untuk membiayai kuliah saya di luar negeri.

Kemudian saya memutuskan untuk mengikuti saran bapak. Selanjutnya saya segera mencari informasi tentang test IELTS (International English Language System). Dan segera saya mempersiapkan untuk mengikuti test. Alhamdulillah dalam test yang saya ikuti saya mendapatkan nilai 6.5. Jumlah nilai yang sudah cukup bagus untuk masuk di universitas yang baik di luar negeri.

Kemudian saya segera diskusi dengan bapak, sebaiknya mengambil kuliah dimana. Ketika itu saya terbesit untuk memilih mengambil master kesehatan di Australia. Namun bapak saya mempunyai pandangan yang lain. Dan sekali lagi cara berpikir bapak saya betul-betul di luar perkiraan saya.

Saya akui, bapak saya mempunyai pikiran yang sangat luas. Walaupun bapak bukan lulusan luar negeri, tetapi pengalaman selama menjabat di kementerian cukup lama sampai pensiun dan sering keluar negeri baik ketika mengikuti kegiatan internasional maupun tugas kedinasan lainnya menyebabkan pandangannya menjadi luas. Ditambah lagi bapak ketika ke luar negeri juga sering berkunjung ke berbagai universitas di berbagai negara. Tentu menambah pengetahuan dan wawasan tentang dunia pendidikan. Dan juga bapak selain menjadi PNS juga sudah lama mengajar menjadi dosen di berbagai universitas di Surabaya, Malang dan juga Jakarta setelah pindah kerja di Jakarta.

Bapak saya kurang setuju saya mengambil master kesehatan di Australia. Ada beberapa alasan yang disampaikan kepada saya waktu itu. Pertama, kalau saya kuliah mengambil master kesehatan di Australia, kelak yang akan saya lihat hanya Australia. Kedua, dunia kedokteran di Indonesia suka tidak suka mempunyai hubungan historis dengan Belanda. Oleh sebab itu mengapa tidak kuliah mengambil master kesehatan di Belanda saja.

Untuk ketiga kalinya saya terhenyak akan pendapat bapak saya. Bener juga mengapa tidak mengambil master kesehatan di Belanda saja. Selain mempunyai hubungan historis kalau kuliah di Belanda, ada beberapa keuntungan. Pertama, saya akan melihat banyak negara. Tidak hanya Belanda. Karena perbatasan antar negara juga sangat dekat. Sehingga saya bisa mengunjungi berbagai negara dengan mudah dan cepat. Tentu dengan banyaknya yang dilihat akan membawa pandangan saya semakin luas.

Kedua, paspor di Eropa diberlakukan paspor Sangen. Artinya kalau udah bisa masuk menjadi mahasiswa di Belanda bisa pergi kemana saja di negara Eropa tanpa mengurus lagi visa. Ketiga, sekitar dua belas universitas riset di Belanda termasuk kategori universitas yang sangat baik. Bahkan semuanya masuk ranking antara 1-150 dunia. Keempat, kalau nanti diterima di universitas yang baik tentu akan sangat mudah mencari beasiswa.

Dari kedua belas universitas di Belanda tersebut, kemudian saya mencari jurusan health science. Kemudian saya tertarik mengambil di Twente University yang terletak di kota Enschede Belanda. Sebuah kota kecil yang berbatasan dengan Jerman. Dan universitas ini waktu saya masuk, termasuk ranking 125 dunia. Bandingkan universitas terbaik di Indonesia seperti Universitas Indonesia misalnya masih sekitar ranking di atas 700 ketika itu.

Bulan Maret 2011 saya disumpah sebagai dokter, kemudian awal bulan Mei saya mendaftar melalui internet dengan melampirkan semua syarat termasuk nilai EILTS saya. Jurusan yang saya pilih adalah health science dengan spesialisasi health technology assessment (HTA). Suatu cabang ilmu yang baru dan sangat dibutuhkan ketika itu. Khususnya di Indonesia. Dan kebetulan saya termasuk yang senang tantangan baru (sayang jurusan ini sudah tidak lagi dibuka di Twente University), maka sesulit apapun saya anggap tantangan.

Dalam pengumuman universitas, setiap lamaran akan mendapat jawaban diterima dan tidaknya kira-kira memerlukan waktu sekitar satu setengah bulan. Kemudian akhir bulan Juni saya menerima pemberitahuan melalui email, kalau saya diterima. Atau istilahnya kerennya saya mendapat Letter of Acceptance (LoA). Betapa senang dan bangganya saya ketika itu. Dan bulan September tahun itu juga saya sudah mulai kuliah dengan mendapat beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk kuliah mengambil master kesehatan di salah satu universitas terbaik di Belanda.

Awal masuk betul-betul terjadi culture shock yang menimpa saya. Dan itu sangat wajar. Ya budaya, model kuliah, hubungan dengan dosen yang egaliter tidak seperti di Indonesia, makanan, teman dan masih banyak lagi, yang semua berbeda. Sungguh jauhhhh berbeda. Namun seiring berjalanan waktu dengan perjuangan keras akhir saya segera bisa menyesuaikan karena saya ditunjang juga memilih asrama internasional. Selain teman kuliah saya dari berbagai negara seperti Amerika, Jerman, Brasil, dsb., teman di asrama juga dari berbagai negeri. Mereka semua saling membantu dan saling menguatkan agar semua berhasil.

Satu tahun lebih sedikit alhamdulillah saya bisa menyelesaikan program master kesehatan saya dengan spesialisasi HTA dengan mendapat gelar MSc. Waktu itu benernya, ada tawaran dari pembimbing saya untuk meneruskan ke program PhD atau program doctor (S3) dengan beasiswa universitas. Namun bapak saya menyarankan untuk pulang. Dan saya sendiri juga lebih tertarik untuk bekerja di bidang kedokteran klinis dibandingkan dengan riset. Karena kalau saya mengambil PhD akan lebih banyak berkecimpung di riset mestinya (untuk bagaimana memilih kuliah di luar negeri nanti akan saya tulis tersendiri).

Pulang dari Belanda mendapat gelar master kesehatan, saya melamar di rumah sakit swasta di Jakarta. Ketika sedang mengikuti test, saya dipanggil dosen saya untuk menjadi manager hemofilia centre di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta. Lowongan ini diperuntukan diutamakan yang pengalaman luar negeri dan bahasa Inggris bagus. Karena lembaga ini penyandang dananya ketika dari luar negeri. Tentunya akan memudahkan dalam komunkasinya. Dan saya menerima kesempatan itu.

Sambil bekerja di RSUP Cipto Mangunkusumo sebagai manager di hemofilia centre, agar ketrampilan klinis saya tertap terasah dan terjaga kemudian saya juga merangkap menjadi dokter jaga di RST Ridwan Maureksa Jln. Salemba Jakarta (saat ini RS tersebut telah pindah di TMII). Dekat dengan tempat saya kerja sekaligus dekat dengan tempat tinggal saya. Satu tahun saya bekerja sebagai manager hemofilia centre di RSUP Cipto Mangunkusumo dan dokter jaga, akhirnya saya masuk menjadi mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anak FKUI/RSUP Cipto Mangunkusumo. Dan ketika lulus kok ya bersamaan pandemi COVID-19. Tak berpikir panjang kemudian saya memutuskan menjadi relawan COVID-19 di RSUD Prov. Banten yang saat itu sangat membutuhkan dokter spesialis anak.

Satu setengah tahun selama puncak COVID-19 melanda Indonesia saya abdikan diri sebagai relawan. Setelah COVID-19 bisa diatasi, mulai ada vaksin pada akhirnya saya harus memutuskan untuk menata hidup dan masa depan saya. Dan takdir Tuhan saya harus kembali ke tanah kelahiran saya (maaf walaupun hanya numpang lahir di Maospati Magetan karena umur 3 bulan dibawa kembali ke Surabaya dimana bapak/ibu saya bekerja) sekarang mengabdi sebagai dokter spesialis anak di salah satu rumah sakit pemerintah milik Pemprov Jatim Dr. RSUD Soedono Madiun, juga di RS Darmayu serta praktik pribadi di rumah.

Saya harus jujur mengatakan bahwa saya adalah salah satu perempuan yang beruntung, karena dilahirkan dari orang tua yang baik, memiliki saudara yang baik, dan juga telah memperoleh pendidikan yang baik dari salah satu lembaga pendidikan kedokteran terbaik. Keinginan saya hanya satu sebagai timbal balik yang telah saya terima, ingin bekerja sambil terus memperdalam ilmu pengetahuan untuk menunjang kemampuan dan kompetensi saya serta mengabdikan diri untuk kesehatan anak di lingkungan saya sesuai dengan ilmu yang telah saya dapatkan.

Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.

- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -