Dokter Spesialis Anak dan Kehidupannya

24 Jun 2025
dr. Melati Arum Satiti, Sp.A., M.Sc.
Pengalaman
About 10 minutes
28 views
banner

Orang tua di Indonesia khususnya di Jawa kalau “ngudang” anaknya,”besok sekolah yang pinter biar jadi dokter ya.” Apa itu salah? Tentu tidak. Dan memang dalam pandangan masyarakat ketika itu profesi dokter masih dipandang sebagai profesi yang sangat terhormat. Dapat ditambahkan pula dulu secara ekonomi dokter juga terjamin kehidupannya, karena dokter dulu setelah menjalankan semacam PTT (Pegawai Tidak Tetap) kemudian diangkat sebagai PNS (Pegawai Negara Sipil). Selain bekerja di birokrasi juga bisa praktik mandiri. Karena memang waktu itu jumlah dokter masih sangat terbatas, wajar kalau kehidupan secara ekonomi juga lebih terjamin. Tak mengherankan kalau profesi dokter juga sangat terpandang di masyarakat.

Di dunia ini yang yang abadi adalah perubahan. Tak mengherankan bila dunia kedokteran juga terus berubah. Kalau dulu jumlah dokter sangat terbatas sehingga rasio dokter dengan jumlah penduduk tidak ideal. Saat ini rasio tersebut semakin baik dibandingkan dulu. Walaupun juga masih jauh dari ideal. Bayangkan saat ini semua provinsi di Indonesia sudah ada universitas negeri dan juga dilengkapi dengan fakultas kedokteran. Belum ditambah dengan semakin banyaknya universitas swasta yang membuka fakultas kedokteran. Berapa ribu dokter setiap tahun dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.

Namun sayangnya jumlah dokter yang semakin banyak tersebut masih menumpuk di Jawa atau kota-kota besar di Indonesia. Dengan semakin banyaknya dokter yang dihasilan lembaga pendidikan tersebut nampaknya jaminan untuk profesi dokter sudah tidak seperti dulu lagi. Tak mengherankan bila saat ini tidak sedikit yang telah lulus sebagai dokter kemudian tidak bekerja di klinis. Tetapi berbagai profesi di luar klinis, malahan juga ada yang berprofesi yang jauh dari dunia kedokteran. Bayangkan, kebanyakan mahasiswa kedokteran untuk masuk dan lulus sebagai dokter umum saat ini diperlukan biaya yang sangat besar. Malahan ada yang sumbangannya sampai mencapai ratusan juta rupiah.

Bayangkan selain biaya yang mahal, sekolahnya saja untuk meraih menjadi dokter umum itu rata-rata enam tahun. Bisa dihitung mulai pada tingkat sarjana kedokteran yang memakan waktu antara 3,5 sd 4 tahun. Setelah lulus sebagai sarjana kedokteran harus mengikuti program profesi yang biasa disebut koas di rumah sakit rata-rata selama dua tahun. Setelah lulus profesi dokter, sebentar tidak lantas langsung sudah lulus sebagai dokter umum. Belummmmm!!!! Harus lulus Ujian Kopetensi Dokter Indonesia (UKDI) semacam ujian negara kalau kita sekolah dulu. Baru setelah lulus UKDI diberikan Surat Tanda Registrasi (STR). Dan tidak hanya berhenti di situ saja. Seorang dokter yang telah lulus ujian kopentensi wajib mengikuti internship di rumah sakit atau puskesmas yang telah ditentukan pemerintah.

Dengan demikian paling cepat seorang dokter yang telah selesai mengikuti internship memerlukan waktu paling cepat tujuh tahun. Tidak mengherankan kalau seorang mahasiswa yang masuknya sama, yang satu di fakultas kedokteran yang lainnya masuk di fakultas lainnya seringkali berbeda capaian hasil akhir dalam kurun waktu yang sama. Kalau seorang untuk menjadi dokter perlu waktu tujuh tahun coba kita hitung kalau kuliah di fakultas lainnya.

Seorang yang masuk fakultas hukum misalnya, kalau lancar bisa selesai 3,5 - 4 tahun. Lulus sarjana hukum karena bahasa Inggrisnya bagus, taruhlah IELTS-nya dapat nilai bagus atau skor 7 atau malahan lebih, tentu akan lebih mudah masuk dan mendapatkan universitas di luar negeri yang bagus (ranking 1-200). Kalau bisa masuk ke universitas yang bagus akan mudah juga untuk mendapatkan beasiswa yang saat ini begitu banyak kesempatannya. Baik beasiswa dari pemerintah Indonesia, perusahaan, negara sahabat maupun universitas di luar negeri.

Taruhlah setahun untuk mencari universitas yang baik di luar negeri dan beasiswa memerlukan waktu satu tahun, dan setelah itu kuliah mengambil master hukum (berbagai jurusan yang demikian banyak di universitas di luar negeri) selama dua tahun. Dengan demikian dalam waktu tujuh tahun sudah berhasil mengantongi master hukum dari universitas yang baik di luar negeri. Tidak hanya jurusan hukum bisa juga lulusan dari jurusan yang lain, seperti pertanian, kehutanan, ekonomi, sastra, teknik, dsb. Dan setelah lulus kalau perlu jangan pulang dulu, mencari pekerjaan di luar negeri untuk mencari pengalaman atau bekerja dalam jangka yang panjang. Bayangkan kalau sekolah dokter dalam kurun waktu yang sama baru mencapai dokter umum sebagian besar dengan biaya yang sangat besar.

Pengalaman Saya

Pengalaman saya dulu ketika saya lulus master kesehatan di Twente University Netherlands dengan beasiswa kemudian diberikan waktu satu tahun oleh pemerintah Belanda untuk mencari pekerjaan dan bekerja di Belanda. Kalau bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passion kita, tentu kita bisa memperpanjangnya untuk tetap di Belanda. Bahkan kita bisa bekerja dalam waktu yang panjang. Tentu saja pemerintah Belanda akan sangat beruntung mendapatkan SDM sesuai keahlian yang dibutuhkan untuk membantu menggerakkan ekonomi negaranya. Demikian negara lainnya seperti Jerman, Amerika, Australia, Singapura, dll. Saya kira kebijakannya tidak jauh berbeda. Awalnya saya ingin bekerja mencari pengalaman di Belanda. Tetapi kondisi waktu itu memaksa saya harus pulang karena beasiswa yang saya terima mengharuskan saya mengabdi di Indonesia setelah lulus.

Setahun saya bekerja mencari pengalaman praktik klinis di Jakarta, kemudian meneruskan sebagai mahasiswa PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) Anak di UI. Sekolah untuk spesialis anak bisa ditempuh antara 4-5 tahun. Jarang sekali yang bisa lulus tepat empat tahun karena berbagai sebab. Setelah lulus sebagai dokter spesialis anak kemudian bekerja di rumah sakit untuk mengabdikan ilmu yang selama ini telah saya dapatkan.

Bayangkan seorang dokter spesialis saat ini lulus paling muda pasti di atas umur 30 tahun. Demikian juga saat saya lulus sebagai spesialis anak di usia sekitar itu. Kalau dulu rata-rata di atas 40 tahun seorang dokter ketika baru lulus sebagai dokter spesialis. Pertama kalau dulu ketika kuliah untuk lulus menjadi dokter umum saja bisa dipastikan perlu waktu di atas tujuh tahun. Kemudian setelah lulus oleh pemerintah diwajibkan harus PTT antara satu sampai dua tahun. Setelah itu baru diangkat sebagai PNS dan setelah masa pengabdian sebagai dokter PTT. Kemudian setelah itu kebanyakan dokter baru menata kehidupan, setelah beberapa tahun baru meneruskan ke spesialis.

Tak mengherankan kalau kemudian ketika lulus sebagai dokter spesialis rata-rata berumur sekitar 40 tahun. Dengan umur itu tentu saja masa pengabdian sebagai dokter spesialis sampai pensiun tinggal sekitar 20 tahun. Oleh sebab itulah di awal tahun 2000, kewajiban PTT kemudian tidak diwajibkan lagi bagi dokter yang telah lulus. Malahan seorang dokter bisa langsung meneruskan mengambil spesialis dengan catatan berpengalaman pekerjaan klinis minimal satu tahun.

Walaupun rata-rata dokter spesialis sekarang ini lulus dalam usia sekitar 30 tahun namun pengalaman saya, ada beberapa teman saya yang satu angkatan sekolah SMA yang kuliah tidak di fakultas kedokteran ketika saya lulus sebagai spesialis anak, mereka telah lulus PhD dari universitas di luar negeri. Malahan beberapa bulan yang lalu di ITB salah satu wisudawan program doktor berhasil lulus masih dalam usia 25 tahun. Itulah perbandingan lamanya pendidikan kedokteran di Indonesia dengan jurusan yang lain.

Bagaimana Kehidupan Dokter Spesialis Anak

Baru kuliah mengikuti PPDS Anak saja, sudah harus mempersiapkan diri khususnya untuk yang sudah berkeluarga waktunya pasti tersita. Kebetulan pada awal masuk PPDS saya belum berkeluarga. Karena memang kurikulum yang harus diikuti memaksa para mahasiswa untuk intens di rumah sakit. Sebagai peserta PPDS anak yang namanya tidak sempat pulang dan harus tidur di rumah sakit itu biasa. Untungnya bapak saya dulu tinggal di Apartemen Menteng Square yang hanya berjarak tidak lebih dari satu kilometer dari RSUP Cipto Mangunkusumo tempat saya mengikuti PPDS Anak FKUI. Tentu sangat membantu dalam mobilitas saya. Untuk itulah saya bisa tinggal dengan bapak saya. Sedang Ibu saya tetap di Surabaya bekerja sebagai Kepala Sekolah SMPN 1 Surabaya.

Kalau saya tidak pulang, sudah biasa bapak saya harus mengantarkan baju untuk ganti dan keperluan lainnya. Bahkan saya pernah tidak pulang sampai tiga hari. Bagi saya dalam mengikuti PPDS anak pedoman saya senyampang saya sekolah FKUI/RSUP Cipto Mangunkusumo dimana rumah sakit ini sebagai rujukan nasional, tentu segala kasus penyakit anak ada di sini. Oleh sebab itu maka saya dengan sungguh-sungguh justru menggunakan kesempatan itu untuk belajar. Demikian juga para dosennya juga memiliki kopetensi yang sangat tinggi. Tentu saja harapan saya, ketika sudah lulus sebagai dokter spesialis anak nantinya akan lebih mumpuni karena sudah biasa menghadapi kasus-kasus sulit ketika kuliah.

Namun apakah setelah lulus dan bekerja sebagai dokter spesialis menjadi lebih banyak dan longgar waktunya. Oh tidak. Setelah bekerja di rumah sakit pemerintah, tentu jam bekerja sama sebagaimana ASN lainnya. Selain tugas pelayanan klinik, pelayanan pasien rawat inap, juga tugas-tugas lain sebagai ASN, ditambah membimbing mahasiswa koas yang ada di rumah sakit dan tugas dari pimpinan lainnya.

Selain itu juga praktik di rumah sakit swasta di sore hari dan kalau malam hari kebetulan saya masih membuka praktik d rumah, karena untuk memenuhi masih banyak pasien yang tidak mendapatkan kesempatan di kedua rumah sakit tempat saya bekerja dan praktik. Di sela-sela bekerja tersebut masih harus melayani konsul dari UGD maupun yang rawat inap juga konsul dari pasien-pasien yang juga harus dilayani. Hal tersebut wajar bila siang atau sore hari. Bahkan jam berapa pun harus selalu standby untuk menerima konsul dari perawat jaga yang merawat pasien tanggung jawab saya, juga konsul dari orang tua pasien. Tak mengherankan dokter anak jam 24.00 sampai menjelang pagi masih menerima konsul dari UGD maupun perawat jaga.

Bahkan dokter anak seperti saya tengah malam atau dini hari kalau ada pasien kritis yang perlu kehadiran dokter ya saya harus datang. Maka seperti tidak ada bedanya ketika masih sebagai mahasiswa PPDS dulu sampai dengan setelah bekerja. Dan walaupun sudah menjadi sokter spesialis seorang dokter itu juga dituntut tetap harus terus update ilmu. Tidak mungkin dokter tidak terus belajar. Seorang dokter yang baik sepanjang hayatnya harus terus belajar. Apalagi, seperti pernah dikatakan oleh mantan Wapres Yusuf Kala (dan saya setuju) bahwa ilmu kesehatan itu perubahannya sangat cepat. Bahkan setiap tiga bulan terjadi perubahan dalam berbagai aspeknya.

Dan tak mengherankan bila dokter spesialis anak (juga dokter spesialis lainnya tentunya) seperti kurang sekali waktunya untuk kegiatan sosial kemasyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Waktunya sepertinya habis untuk kegiatan pelayanan kesehatan yang memang telah menjadi konsekuensi tanggung jawabnya.

Maaf ya, sampai-sampai melihat kesibukan saya selama kuliah di kedokteran adik saya nomer dua perempuan ketika mau masuk ke fakultas kedokteran harus mengurungkan niatnya. Ketika bertanya tentang kehidupan dokter kemudian saya jelaskan,”Apakah kamu sudah siap dengan tanggung jawab dan kehidupan dokter?” Setelah saya jelaskan panjang lebar akhirnya adik saya memutuskan sendiri tidak jadi meneruskan niatnya untuk melanjutkan ke fakultas kedokteran.

Akhirnya adik saya meneruskan ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis jurusan Akuntansi Unair dengan melalui program jalur prestasi. Dan karena ketekunannya dan semangat belajarnya, akhirnya lulus sebagai sarjana akuntansi dengan predikat cumlaude. Malahan kemudian mendapat beasiswa “Unggulan Depdikbud” untuk meneruskan master accounting and control di VU Amsterdam University salah satu universitas riset terbaik di Belanda. Dan sekarang menetap di Belanda.

Apa yang saya sampaikan bukan untuk mendramatisir kehidupan dokter spesialis anak atau spesialis lainnya, sama sekali tidak. Namun hanya sebagai gambaran, kalau ada yang bercita-cita sebagai dokter kemudian meneruskan spesialis itulah jalan yang harus ditempuh dan kehidupannya kelak yang harus dihadapinya. Oleh sebab itu yang bercita-cita menjadi dokter harus betul-betul disiapkan mentalnya, sehingga kelak ketika menjadi dokter betul-betul dapat memenuhi sumpah dokter sebagaimana yang telah diucapkan dalam pelantikannya.

Dan bagi anak atau orang tua yang telah mantap, selamat berjuang. Namun yang bercita-cita jadi dokter namun gagal, jangan berkecil hati. Kesuksesan itu tidak harus jadi dokter. Profesi apapun apabila ditekuni dengan profesional akan menunai kesuksesan. Yang penting jang setengah-setangah. Tekun pada pilihan dan terus berjuang.

Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.

- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -