Alasan Tidak Memposting Data Maupun Keseharian Merawat Pasien COVID-19 Anak di Media Sosial

16 Aug 2020
dr. Melati Arum Satiti, Sp.A., M.Sc.
Pengalaman
About 4 minutes
107 views
banner

Seperti yang telah kita ketahui bahwa covid19 telah membuat kehebohan di Indonesia sejak kemunculannya pertama kali dibulan Maret 2020. Sebagai dokter spesialis anak (DSA), saya tertarik untuk mempelajari lebih jauh mengenai penyakit baru ini. Saya sempat menulis mengenai covid19 di sebuah media online. Namun, pada akhirnya terjun langsung menangani pasien COVID-19 anak yang mengobati rasa penasaran saya.

Selama menjadi relawan COVID-19, banyak yang meminta saya untuk rutin posting mengenai keseharian saya di rumah sakit. Selain itu, banyak pula yang meminta data mengenai jumlah pasien COVID-19 anak yang saya tangani termasuk jurnalis. Kondisi pasien COVID-19 anak di lapangan memang menjadi topik yang hangat di kalangan masyarakat terutama para orang tua yang sedang panik. Namun saya memilih untuk tidak memposting karena beberapa alasan bersifat teknis maupun non-teknis yaitu:

1. Ruang perawatan COVID-19 diisolasi secara ketat

Ruangan perawatan covid19 dipisahkan dari ruangan untuk kegiatan rapat atau pelayanan lainnya. Setiap dokter penanggung jawab pasien (DPJP) wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) level 3 yang dilepas sesaat sebelum keluar dari ruang isolasi. Berarti barang apapun yang sudah masuk ke dalam ruang isolasi sudah dianggap terkontaminasi. Dalam hal ini, membawa hp bukanlah pilihan yang mudah. Sehingga, beberapa kali saya mencoba membawa hp saya dengan cara membungkus dengan plastik.

Sistem touch screen menjadi lebih lambat responnya selain terhalang plastik, saya sendiri menggunakan sarung tangan 3 lapis. Kamera dan mic hp juga tidak dapat berfungsi dengan baik karena terbungkus plastik. Saya hanya bisa mengambil gambar dari hp ruang rawat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan para DPJP. Namun hp tersebut memiliki kapasitas penyimpanan yang relatif kecil sehingga mudah sekali penuh. Oleh karena itu melakukan perekaman kegiatan sehari-hari secara rutin di ruang rawat menjadi lebih sulit.

2. Jumlah dan keadaan umum pasien COVID-19 anak

Memakai APD level 3 dalam melakukan kegiatan itu rasanya sesak, panas dan sulit bergerak. Oleh karena itu, proses memeriksa pasien juga menjadi lebih lama. Jika jumlah pasien sedang banyak-banyaknya otomatis butuh waktu yang lebih lama untuk visite. Kondisi pasien yang tidak stabil bisa juga membuat saya lebih lama visite. Pasien dengan kondisi tidak stabil sering membutuhkan seperti tindakan intubasi, pemasangan akses intraoses dan lain sebagainya. Otak saya sudah tidak bisa berpikir untuk merekam kegiatan bila dihadapkan dalam kondisi jumlah pasien banyak atau tidak stabil.

3. Pertanggungjawaban kepada rumah sakit dan dinas kesehatan

Informasi-informasi terkait pasien COVID-19 yang dipublikasikan harus mengetahui rumah sakit maupun dinas kesehatan. Sekecil apapun informasi yang keluar, pasti akan memberikan dampak kepada kedua institusi tersebut. Oleh karena itu, saya berusaha menjaga nama baik diri sendiri dan tempat dimana saya bekerja.

4. Perdana menyetir sendiri Jakarta-Serang-Jakarta

Karena satu dan lain hal saya harus memberanikan diri menyetir sendiri pulang pergi Jakarta-Serang sejak pertengahan Juni 2020. Pada minggu pertama menyetir badan terasa pegal-pegal dan sangat capek. Setiap sampai di Jakarta rasanya ingin langsung tidur. Butuh kurang lebih 1 bulan sampai dapat beradaptasi dengan kondisi menyetir jarak jauh. Sampai akhirnya baru sekarang lanjut menulis kembali di blog pribadi.

5. Berita simpang siur tentang COVID-19 khususnya pada pasien anak

Selama 6 bulan terakhir banyak sekali berita-berita mengenai covid19 yang simpang siur. Pada awalnya saya berusaha untuk meluruskan dengan merujuk dari tulisan-tulisan ilmiah yang sudah saya telaah. Kemudian, saya menyadari bahwa COVID-19 merupakan penyakit baru sehingga semua informasi masih bersifat interim atau masih dapat berubah. Masyarakat yang bingung semakin bertambah bingung dan dapat merespon kebingungan dengan kemarahan.

Saya juga mulai menyadari semakin banyak orang-orang yang menggunakan pandemi COVID-19 ini untuk kepentingan politik atau hanya sekedar untuk mencari popularitas. Selain itu, beberapa kali saya memiliki pandangan yang berbeda karena hal-hal yang saya baca dan alami berbeda dengan yang terjadi di luar sana. Namun, ternyata melakukan perdebatan dengan orang-orang yang marah atau memiliki kepentingan hanya menghabiskan tenaga.

Semoga penjelasan saya di atas dapat dimengerti oleh teman-teman sekalian bahwa tidak mudah untuk posting berita-berita mengenai COVID-19 terutama pada anak untuk saat ini. Mungkin di lain kesempatan, saya bisa memberikan informasi-informasi yang bisa memberikan manfaat untuk orang banyak. Mohon doanya supaya saya terus memiliki semangat untuk menulis. Sampai ketemu lagi di postingan saya selanjutnya.

Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.

- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -