Vaksinasi Pneumonia Pada Anak di Tengah Wabah COVID-19

18 Mar 2020
dr. Melati Arum Satiti, Sp.A., M.Sc.
Kesehatan
About 6 minutes
39 views
banner

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Gambar 1 Ilustrasi vaksin anak. Shutterstock/dok

Oleh dr. Melati Arum Satiti, SpA, MSc*

Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) resmi mengumumkan bahwa dunia saat ini tengah mengalami pandemi COVID-19. Pandemi diartikan sebagai epidemi sebuah penyakit yang telah menyebar pada beberapa negara atau benua. Sementara itu, epidemi diartikan sebagai peningkatan jumlah penyakit di atas jumlah rata–rata yang terjadi secara mendadak pada sebuah populasi.

Sebagaimana telah kita ketahui, epidemi COVID-19 pertama kali terjadi di Wuhan, China pada bulan Desember 2019. Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 13 Maret 2020, WHO mengumumkan bawa benua Eropa saat ini telah menjadi pusat dari pandemi COVID-19. Pada hari yang sama, untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia mengumumkan 2 kasus anak dengan COVID–19 yang masing-masing berusia 3 dan 2 tahun.

Walaupun angka statistik kematian COVID-19 pada anak tergolong rendah, orang tua seharusnya tetap waspada. Pada kasus COVID-19 dapat terjadi pneumonia atau infeksi paru. Sebagaimana diketahui, penyebab dari COVID-19 merupakan galur baru (nCoV) dari virus corona yaitu SARS–CoV–2. Sampai saat ini belum ada vaksin COVID-19 dan pengembangan vaksin tersebut membutuhkan waktu.

Sebelum terjadi pandemi, tepatnya pada 21 Januari 2020, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah mengeluarkan imbauan mengenai COVID–19. Isi imbauan tersebut salah satunya adalah mengharap orang tua dapat melengkapi status imunisasi anak, terutama vaksin terkait pneumonia. Berikut ini daftar vaksin terkait pneumonia yang direkomendasikan oleh IDAI.

Vaksin DPT (Difteri, Tetanus, Pertusis)

Bordetella pertusis merupakan salah satu bakteri yang dapat menyebakan pneumonia pada penyakit pertusis. Komplikasi lain dari Pertusis adalah pecahnya paru–paru akibat dari batuk yang sangat hebat. WHO memperkirakan 687.000 kematian pada bayi akibat pertusis dapat dicegah dengan vaksinasi.

Selanjutnya, Corynebacterium diphtheria adalah bakteri penyebab difteri yang dapat memproduksi toksin atau racun yang menyebabkan kematian sel. Penumpukan sel–sel yang mati pada area tenggorokan dapat menyebabkan penyumbatan yang menyebabkan anak sulit bernapas. Angka kematian akibat Difteri dilaporkan 5–10% pada anak yang tidak mendapatkan vaksinasi. Dalam hal ini, angka kematian dilaporkan semakin meningkat pada usia yang lebih muda.

Sementara itu, Clostridium tetani adalah bakteri penyebab tetanus yang memproduksi toksin atau racun yang menempel pada otot. Toksin tersebut dapat menyebabkan kekakuan otot sampai dengan kejang. WHO melaporkan sebanyak 20,848 bayi baru lahir meninggal karena tetanus.

Kasus pneumonia pada pertusis dapat disebabkan secara langsung oleh bakteri Bordetella pertusis. Pada kasus difteri dan tetanus, pneumonia terjadi karena infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri selain Corynebacterium diphtheria atau Clostridium tetani. Vaksin DPT ini sudah masuk dalam jadwal imunisasi nasional yang direkomendasi oleh kementerian kesehatan.

Vaksin HiB (Haemophilus influenzae tipe B)

Haemophilus Influenzae menyebabkan penyakit yang berat pada anak di bawah 5 tahun, mulai dari pneumonia sampai dengan infeksi selaput otak. Angka kematian akibat infeksi HiB dilaporkan sebesar 5% pada anak yang tidak mendapatkan vaksinasi. Saat ini, di Indonesia tersedia vaksin HiB dalam bentuk pentavalen atau gabungan dari 5 macam vaksin, yaitu DPT dan hepatitis B. Vaksin pentavalen HiB juga telah masuk dalam jadwal imunisasi nasional rekomendasi kementerian kesehatan.

Vaksin PCV (Pneumoccocal vaccine)

Pneumococcal atau pneumokokus juga menyebabkan penyakit yang berat, mulai dari pneumonia sampai infeksi selaput otak, terutama pada anak di bawah 2 tahun. Angka kematian akibat pneumokokus mencapai 1 juta anak setiap tahun di negara berkembang. Vaksin PCV masuk dalam jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2017. Namun, vaksin ini belum masuk dalam jadwal imunisasi nasional rekomendasi kementerian kesehatan. Hal ini membuat orang tua harus membayar untuk mendapatkan vaksin PCV.

Vaksin Influenza

Mayoritas penyakit influenza atau flu memberikan gejala ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, pada anak–anak berusia di bawah 2 tahun, flu memiliki risiko yang tinggi menjadi penyebab pneumonia. Dalam hal ini, Center of Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan angka kematian akibat flu dapat mencapai 600 anak per tahun. Selain itu, sama seperti vaksin PCV, vaksin influenza hanya masuk dalam jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2017 sehingga orangtua harus membayar untuk mendapatkan vaksin .

Vaksin Campak

Sejumlah 75% kasus pneumonia pada anak disebabkan oleh virus campak. Tercatat, CDC melaporkan sebanyak 21 juta kematian pada anak dapat dicegah sejak tahun 2000 setelah pemberian vaksin campak. Dalam hal ini, sebanyak 95% kematian akibat campak ditemukan pada negara dengan ekonomi rendah dan infrastruktur kesehatan yang buruk. Vaksin campak masuk dalam jadwal imunisasi nasional rekomendasi kementerian kesehatan.

Perlu diingat kembali, vaksin–vaksin yang disebutkan di atas tidak dapat menangkal covid-19. Namun, dengan melengkapi imunisasi di atas, kita dapat menghindarkan anak dari pneumonia yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh patogen di atas (Corynebacterium diphtheriaBordetella pertusisClostridium tetaniHaemophilus Influenzae tipe B, pneumokokus, Influenza dan campak). Gejala COVID–19 diharapkan menjadi lebih ringan bila tidak terjadi pneumonia yang disebabkan oleh patogen di atas pada saat yang bersamaan.

Sementara itu, untuk orang tua yang tidak bisa mendapatkan vaksin PCV dan influenza, tetap bisa mencegah pneumonia dengan mengikuti imbauan pemerintah seperti menerapkan gerakan masyarakat sehat (GERMAS). Pemerintah juga mengimbau untuk melakukan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dan penjauhan diri (social distancing) untuk mengurangi penularan COVID-19.

Sebelum pemberian vaksinasi, perlu dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Oleh sebab itu, orang tua dianjurkan untuk melakukan konsultasi dahulu dengan dokter spesialis anak (DSA). Kemudian, sesuai imbauan IDAI pada 16 Maret 2020 melalui live instagram story, orang tua diminta untuk melakukan isolasi diri selama 14 hari. Oleh sebab itu, untuk kebutuhan vaksinasi lanjutan sebaiknya ditunda sampai masa isolasi diri selesai.

Demikian penjelasan singkat mengenai peran vaksin terkait pneumonia pada wabah COVID–19. Semoga dapat memberikan pencerahan dalam menghadapi puncak dari wabah COVID–19  pada anak di Indonesia.

*Dokter Spesialis Anak, Alumni Universitas Indonesia (Master Health Technology Assessment, Universiteit Twente Belanda).

**Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Referensi

  1. World Health Organization. WHO characterizes COVID–19 as a pandemic. Geneva: World Health Organization. 2020. [diakses pada Maret 2020]. Tersedia di https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/events-as-they-happen.
  2. Center for Disease Control and Prevention. Section 11: epidemic disease occurrence–level of disease. United States: Center for Disease Control and Prevention. 2020. [diakses pada Maret 2020]. Tersedia di https://www.cdc.gov/csels/dsepd/ss1978/lesson1/section11.html
  3. Dong Y, Mo Xi, Hu Y, Xin Qi, Jiang F, Tong S. Epidemiological characteristic of 2143 pediatric patients with 2019 coronavirus disease in China. Pediatrics. 2020. https://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/early/2020/03/16/peds.2020-0702.full.pdf.
  4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Himbauan ikatan dokter anak Indonesia tentang pneumonia (2019 n–CoV). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2020. [diakses pada Maret 2020]. Tersedia di http://www.idai.or.id/artikel/
  5. World Health Organization. Health topics. Geneva: World Health Organization. 2020. [diakses pada Maret 2020]. Tersedia di https://www.who.int/health-topics
  6. Soedarmo SS, Gama H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropik. Edisi ke–2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
  7. Ranuh IG, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, Gunardi H, dkk. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke–2. Jakarta: Satgas imunisasi–Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017.
  8. Wu Z, McGoogam JM. Characteristic of and important lessons from the coronavirus disease 2019 (COVID–19) outbreak in China: summary of a report of 72314 cases from the Chinese center for disease control and prevention. JAMA. 2020:1–4. Doi: 10.1001/jama.2020.2648. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/jmv.25722

Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.

- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -