Editor: Agung Muhammad Fatwa
Oleh dr. Melati Arum Satiti, SpA, MSc*
Pada 15 Maret 2020, World Health Organization (WHO) melaporkan lebih dari 150.000 kasus COVID–19 ditemukan di dunia. Setelahnya, Pemerintah Indonesia memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk menentukan status siaga darurat atau tanggap darurat sesuai dengan kondisi daerah masing–masing.
Lima hari kemudian, tepatnya pada 20 Maret 2020, pemerintah pusat menyiapkan rencana kontingensi kesiapan layanan rumah sakit. Mereka berupaya melakukan optimalisasi pelayanan rumah sakit rujukan covid–19 yang sudat ditetapkan. Selain itu, pemerintah juga menetapkan mobilisasi rumah sakit lain seperti milik BUMN, TNI atau Polri, swasta, dan rumah sakit darurat jika diperlukan.
Selanjutnya, pada 22 Maret 2020, pemerintah Provinsi Banten melaporkan 34 kasus positif COVID–19. Hal ini kemudian ditindaklanjuti olej Dinas Kesehatan Banten dengan mengumumkan bahwa RSUD Provinsi Banten tidak lagi menerima pasien umum. Tak lama, tepatnya pada 25 Maret 2020, RSUD Provinsi Banten resmi melakukan pelayanan khusus untuk kasus COVID–19.
Sampai saat ini, tenaga medis yang tergabung dalam tim covid–19 RSUD Provinsi Banten adalah dokter spesialis emergensi, paru, penyakit dalam, anak, anestesi, dan jantung. Selain itu, dokter umum dan perawat juga merupakan garda terdepan dalam penanganan kasus COVID–19 di sana. Tim covid–19 pun melakukan diskusi secara rutin untuk meningkatkan kualitas penanganan kasus COVID–19.
Sebagai penyakit yang disebabkan oleh virus baru, hingga kini belum ada panduan khurus untuk menangani COVID-19. Beberapa panduan dari WHO, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, atau Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) masih bersifat interim atau dapat berubah sesuai perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, di sinilah peran pelaporan dan diskusi kondisi pasien secara berkala dengan tim COVID–19 menjadi sangat penting.
Di tengah kasus positif COVID-19 yang terus meningkat, dokter spesialis anak (DSA) berperan dalam penanganan kasus COVID–19 pada pasien yang berusia di bawah 18 tahun. Dalam hal ini, pasien anak dengan suspek COVID–19 dapat dirujuk ke rumah sakit rujukan khusus COVID–19, salah satunya RSUD Provinsi Banten. Selanjutnya, pasien anak suspek COVID–19 yang dirujuk akan dilaporkan kepada DSA melalui dokter spesialis emergensi atau dokter jaga instalasi gawat darurat (IGD).
Anak yang sudah memiliki hasil usapan tenggorok atau rapid test COVID–19 positif memiliki ruang rawat terpisah untuk mencegah penularan lebih lanjut. Karena kasus COVID–19 dapat memiliki gejala ringan sampai dengan kritis, DSA dapat bekerja sama dengan dokter spesialis anestesi, utamanya dalam merawat kasus COVID–19 kritis di Intensive Care Unit (ICU). Selain itu, DSA juga dibantu oleh dokter jaga ruangan dan perawat untuk kasus COVID–19 yang ringan sampai dengan berat.
Selama berkontak dengan pasien COVID-19, para tenaga medis diwajibkan mengenakan alat pelindung diri (APD). Selama bertugas, atau kira-kira 8 jam lamanya, tenaga medis tidak diperkenankan melepas APD sehingga kebutuhan ke kamar kecil harus dilakukan sebelum mengenakan APD. Hal ini karena jika sudah dilepaskan, APD tidak dapat digunakan kembali.
Dalam penangaan pasien COVID–19, APD menjadi sangat penting karena tenaga medis memiliki risiko tinggi untuk tertular. Dalam hal ini, penggunaan APD secara lengkap merupakan suatu kewajiban. Selain itu, teknik melepas APD dan lokasi membuang APD bekas pakai juga harus–benar diperhatikan. Setelah APD dilepas, para tenaga medis juga diharuskan untuk mencuci badan dan rambut sebagai upaya pencegahan penularan.
Bagi tenaga medis, mengenakan APD lengkap ketika menangani pasien COVID-19 memberikan perasaaan tenang. Namun, ruang gerak menjadi sangat terbatas dan bernapas menjadi lebih sulit. Meskipun demikian, kesulitan tersebut tidak menghambat tenaga medis untuk terus merawat pasien COVID–19. Seiring berjalannya waktu, tenaga medis pun akan mulai terbiasa untuk bergerak dan mengatur napas selama menggunakan APD.
Setelah selesai bertugas, tenaga medis beristirahat di tempat karantina yang disediakan oleh pemerintah setempat. Karantina diperlukan karena tenaga medis dapat menjadi media penularan bagi keluarganya. Oleh sebab itu, sebagian besar tenaga medis tinggal terpisah dari keluarga sementara waktu. Dengan kata lain, mereka mendedikasikan hidupnya untuk merawat pasien COVID–19 selama wabah berlangsung.
Sebagai langkah untuk menekan jumlah kasus positif covid-19, pada 31 Maret 2020 Pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan pembatasan sosial berskala besar. Hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah kenaikan jumlah kasus COVID–19 agar tidak melebihi kapasitas rumah sakit. Oleh karena itu, peran masyarakat untuk tetap di rumah dan menghindari kerumunan sangatlah penting untuk membantu perjuangan tenaga medis di lapangan.
Perlu kita sadari, saat ini, COVID–19 merupakan musuh tak kasat mata bagi seluruh negara di dunia. Tidak ada negara yang siap dalam menghadapi serangan COVID–19. Dalam hal ini, pemerintah, tenaga medis, peneliti, dan masyarakat dituntut untuk dapat terus bekerja sama demi memenangkan perang melawan COVID–19.
*Dokter Spesialis Anak, relawan COVID–19 di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Banten, Alumni Universitas Indonesia (Master Health Technology Assessment, Universiteit Twente Belanda).
Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.
- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -