Saya Dokter Anak Tetap Ingin Menulis (Untukmu Ibu Kartini)

22 Apr 2025
dr. Melati Arum Satiti, Sp.A., M.Sc.
Umum
About 7 minutes
50 views
banner

Sering sekali saya menerima pertanyaan,”Dok kok masih sempat menulis.” Pertanyaan seperti itu sering sekali saya terima, baik dari kolega, teman maupun komunitas dimana saya tergabung. Kalau ada pertanyaan seperti itu saya hanya bisa tertawa saja. Toh kalau misal saya harus jawab, tentu jawabannya seperti pita kaset, sama persis!!!. “Ya disempat-sempatkan, setiap manusia diberikan waktu oleh Tuhan juga sama tidak ada yang dibedakan. Tinggal kita sendiri, bagaimana cara memanfaatkan waktu sebaik-baiknya,” pasti itu jawabannya.

Yang jelas, lihat saja nenek moyang kita dulu. Ketika teknologi belum berkembang seperti ini, kertas belum ada, agar supaya apa yang dilakukan dan diketahui oleh anak cucunya kelak maka nenek moyang kita kemudian menulis di batu berbentuk prasasti. Kalau seandainya nenek moyang kita dulu tidak menulis di batu, menggambar di gowa-gowa apakah kemudian peradaban dan apa yang terjadi bisa diketahui oleh anak cucunya di jaman sekarang.

Jawabannya pasti tidak. Kita akan kehilangan jejak karena nenek moyang kita tidak meninggalkan catatan apa-apa. Kita beruntung memiliki nenek moyang yang punya visi ke depan. Apa yang dilakukan ditulis. Karena ada prasasti kemudian kita bisa mengetahui tentang kerajaan Kutai, kerajaan Tarumanegara, kerajaan Singasari dsb.

Teknologi terus berkembang dan kemudian menulis di lontar. Ketika kertas mulai dikenal, kemudian mulai menulis di kertas dalam bentuk buku-buku. Apalagi kemudian Johannes Guternberg pada tahun 1450 menemukan mesin cetak, terjadi revolusi dalam hal tulis menulis. Pada akhirnya buku-buku tak lagi harus ditulis tangan, tetapi bisa dicetak dengan mudah dan bisa tersebar secara massif. Dengan melalui gagasan-gagasannya, seseorang dapat menulis dalam bentuk buku, majalah, koran atau bentuk lainnya sehingga bisa dibaca oleh orang lain diseluruh penjuru dunia, walaupun memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk sampai kepada para pembaca.

Hanya di Indonesia saat itu perubahan terasa menjadi lambat, karena kerajaan-kerajaan yang mulai menyadari pentingnya menulis gagasan dan mencatat dalam bentuk buku (walaupun banyak yang masih ditulis tangan) keburu ditaklukkan Belanda. Dalam kekuasaan Belanda baru pada akhir abad 19 melalui kebijakan politik etisnya, Belanda mulai mengenalkan sekolah kepada penduduk pribumi. Dari sinilah pendidikan baca tulis mulai dikenalkan melalui lembaga formal oleh pemerintah Belanda.

Karena kungkungan adat, menjadikan penduduk pribumi belum bisa mengakses pendidikan formal tersebut. Utamanya untuk kaum perempuan. Kondisi ini juga menimpa gadis muda Kartini yang ingin maju untuk mengakses melalui pendidikan formal, namun terkendala adat. Pada waktu itu kehidupan perempuan masih dalam kungkungan adat, bahwa hidup perempuan itu sebagai “kanca wingking” dari seorang laki-laki. Posisi perempuan dalam adat hidupnya hanya menunggu pinangan laki-laki yang kemudian dalam kehidupan rumah tangga tugasnya di belakang atau dapur.

Dengan demikian anak perempuan yang dianggap cukup umur segera dinikahkan, anggapan orang tua supaya “mungkur.” Apalagi di jaman dulu. Kondisi ini juga menimpa orang dekat saya yaitu nenek saya. Waktu menikah, nenek saya masih berusia sekitar 14 tahun. Waktu beliau cerita, ketika masih temanten baru suatu saat nenek saya diajak kakek ke sebuah toko. Nenek diminta memilih barang yang disukai. Apa yang kemudian dipilih oleh Ibu, “peniti” dan bola “bola bekel.” Sambil tertawa, nenek saya cerita. Tak ada rasa kecewa atau menyesal karena memang masih adat ketika itu. Untungnya kakek saya waktu muda kelihatan ganteng dilihat difoto heeeee. Betapa kecilnya waktu menikah nenek saya. Tidak ada yang berani menolak untuk dijodohkan. Yang dilakukan sebagai bentuk “bekti” atau berbakti kepada orang tua.

Tak heran bila perempuan Jawa ketika itu tugasnya yaitu “masak, macak (berhias) dan manak (melahirkan).” Kondisi ini pada akhirnya juga menimpa perempuan muda Kartini yang lahir 21 April 1879, putri Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Sosroningrat yang telah memiliki pandangan cukup modern pada jamannya. Kartini masih beruntung sebagai putri bangsawan saat itu ayahandanya memasukkan ke sekolah dasar Eropa atau ELS (Europese Lagere School) yang berbahasa Belanda ketika memasuki usia sekolah. Dan setelah selesai menempuh pendidikan dasar pada umur 12 tahun, sebetulnya Kartini ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi namun karena adat, ayahnya melarangnya.

Saat itu perempuan yang telah berusia 12 tahun harus dipingit. Tentu saja karena dipingit, Kartini tidak bebas lagi bisa keluar rumah. Hidupnya hanya menunggu laki-laki yang akan melamarnya. Dalam keadaan dipingit itulah tidak lantas kemudian menyurutkan keinginannya untuk maju. Terus membaca dan terus menulis merupakan aktivitas rutin yang dilakukannya. Selain mengajar anak-anak disekitarnya. Dan kebetulan Kartini memiliki sahabat pena Ny. H.J. Abendanon serta Estelle Zeehandelaar. Kepada sahabat penanya tersebut kemudian sering bertukar pikiran sekaligus Kartini curhat melihat kondisi bangsa dan kaumnya, utamanya perempuan yang mendapat perlakuan selalu dinomorduakan, baik dalam keluarga, adat maupun kemasyarakatan.

Seperti salah satu surat yang ditujukan kepada Nyonya Zeehandelaar,”Bukankah acapkali kudengar seorang ibu berkata kepada anak laki-laki bila dia jatuh-cis anak laki-laki menangis tiada malu, seperti anak perempuan-. Anakku laki-laki maupun perempuan, akan aku ajar, supaya menghargai dan pandang memandang samarata. Makluk yang sama. Dan didikannya akan saya samakan benar, yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat dan kecakapannya. Misalnya, oleh karena aku hendak menjadikan anakku, jadi kaum perempuan baru, tiada aku akan menyuruh belajar, bila tiada kehendaknnya, maupun tiada kecakapannya akan belajar. Tetapi mengurangi haknya, akan melebihi abangnya, sekali-kali tidak! Lagi pula hendaklah aku menghapuskan pembatas antara laki-laki dan perempuan yang diadakan orang dengan amat telitinya, sehingga menggelikan….

Dan Kartini mengharap walaupun masih sekitar tiga generasi persamaan hak itu akan terjadi. Saat ini saya sudah generasi keempat dari era Kartini. Tentu lebih sangat beruntung dan kondisi masyarakat sudah sangat jauh berubah seperti yang telah diprediksi oleh Kartini. Tentu saja dalam perjalanan selanjutnya kesadaran akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan tak lepas dari mimpi, cita-cita serta perjuangan beliau yang memiliki pemikiran melebihi jamannya.

Yang perlu dicatat dan mungkin juga tragis, Kartini harus menerima kenyataan ketika dijodohkan dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat yang sebelumnya telah memiliki sebanyak tiga istri dengan tujuh anak. Dan meninggal dunia di usia sangat muda setelah melahirkan anak semata wayangnya. Dan Kartini harus menerima kenyataan akan belenggu adat yang demikian kuat yang pada akhirnya juga mengubur keinginanannya.

Namun cita-cita kartini terus menyeruak diantara pemikiran perempuan generasi berikutnya. Cita-cita dan pemikiran Kartini bisa diwariskan kepada generasi berikutnya tentunya berkat jasa H.J. Abendanon yang telah membukukan surat-surat Kartini dengan judul “Door Duisternis Tot Licht.” Apalagi kemudian buku berbahasa Belanda tersebut diterjemahkan dalam bahasa Melayu dan selanjutnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang, semakin baanyak yang kemudian membaca dan menangkap cita-cita dan mimpinya.

Tak terkecuali saya. Dan saat ini saya telah menikmati kebebasan dan persamaan hak itu. Oleh sebab itu ketika saya disumpah menjadi dokter umum pada tahun 2011 kemudian ditanya oleh bapak/ibu saya kapan menikah, dengan halus saya menjawab,”Bapak/Ibu ijinkan saya menunda menikah. Di Indonesia ini perempuan dan laki-laki jumlahnya banyak perempuan. Dan jumlah perempuan yang jumlahnya lebih banyak itu kebanyakan menikah, namun pendidikannya tidak cukup baik. Ijinkah saya ikut menambah jumlah perempuan Indonesia yang menikah tetapi pendidikannya tidak hanya cukup tapi tinggi, setinggi-tingginya sesuai kemampuan dan kodrat saya sebagaimana cita-cita Kartini.”

Bapak/Ibu saya hanya terdiam mendengar jawaban saya. Bahkan ibu saya meneteskan air mata sambil memeluk saya. Ibu Kartini di surga, terima kasih saya telah bisa menikmati kebebasan dan persamaan hak perempuan dengan laki-laki sebagaimana yang ibu cita-citakan. Dan saya tidak akan pernah membuang kesempatan itu.

Tentu saja cita-cita Kartini bisa diketahui orang banyak karena Kartini menulis. Dengan segala keterbatasan sarana saat itu, walaupun berupa surat dengan tulisan tangan beliau mampu menuangkan gagasan, mimpi, cita-citanya dalam surat berlembar-lembar banyaknya. Pertanyaannya, kalau seandainya Kartini tidak menulis saya yakin Kartini juga akan dilupakan oleh jamannya sebagaimana wanita dari kalangan bangsawan Jawa lainnya yang telah menjadi istri keempat dari seorang bupati. Karena menulis itulah kemudian Kartini tidak dilupakan jaman dan sejarah. Kartini menjadi sebuah nama besar nan indah.

Saat ini teknologi sangat maju. Setiap orang bisa menulis dimanapun dan dengan media serta cara yang juga lebih mudah. Oleh sebab itu, sebagaimana cara Kartini untuk tidak dilupakan jaman dengan cara menulis, dan alasan itulah kemudian mengapa sesibuk apapun saya juga tetap menulis. Saya juga tidak ingin dilupakan jaman dan sejarah. Selamat Hari Kartini. Selamat perempuan Indonesia dalam menggapai cita-cita!

Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.

- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -