Oleh dr. Melati Arum Satiti, SpA, MSc*
Health Technology Assessment (HTA) atau Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) merupakan proses analisis yang digunakan untuk menentukan teknologi kesehatan yang dianggap paling efektif dan efisien dalam penanganan suatu penyakit. Hasil dari HTA akan membantu pemerintah untuk memutuskan sebuah kebijakan, terutama dalam kondisi seperti pandemi COVID–19.
Diskusi dalam HTA dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan orang–orang yang ahli di bidangnya. Program–program statistik juga sering digunakan untuk membantu memperoleh hasil yang akurat. Selain itu, proses HTA akan mendorong terjadinya transparansi dalam setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah.
Praktik HTA sudah banyak dilakukan oleh negara–negara di dunia, baik negara berkembang maupun negara maju. Tim HTA dapat terdiri atas dokter spesialis, ahli matematika, ahli ekonomi, perwakilan dari masyarakat, dan lain–lain. Berikut ini adalah beberapa contoh praktik HTA yang dilakukan dalam pandemi COVID–19.
Negara–negara di dunia melaporkan jumlah kasus COVID–19 secara berkala selama pandemi berlangsung. Sebuah penelitian tahun 2016 menyatakan bahwa simulasi penyebaran suatu penyakit dapat dibuat menggunakan data yang tersedia secara online. Simulasi tersebut dapat memberi gambaran seberapa cepat penyebaran penyakit terjadi dan kapan penyebaran penyakit akan selesai.
Pada 29 Februari 2020, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa kasus COVID–19 di Jepang mencapai 230 orang. Jumlah tersebut terus bertambah sejak penemuan kasus covid–19 yang pertama pada 15 Januari 2020. Kemudian, tim HTA Jepang melakukan simulasi untuk memprediksi puncak wabah COVID–19. Hasil simulasi tersebut menyatakan puncak wabah akan terjadi pada awal sampai dengan pertengahan musim panas.
Sampai dengan saat ini, WHO menyatakan bahwa COVID–19 ditularkan melalui droplets atau percikan dari saluran pernapasan. Oleh sebab itu, WHO mengimbau untuk melakukan tindakan kebersihan mandiri, termasuk cuci tangan, disinfeksi barang, dan menjaga jarak minimal 1 meter.
Kemudian, tim HTA Jepang melakukan simulasi terhadap efektivitas tindakan menghindari kerumunan sebagai pencegahan penularan COVID–19. Hasil simulasi tersebut menyatakan penyebaran COVID–19 dapat ditekan dengan cara membatasi waktu dalam kerumunan. Batas waktu dalam kerumunan yang disarankan adalah kurang dari 4 jam.
Pemeriksaan standar untuk mendeteksi virus penyebab covid–19 adalah tes polymerase chain reaction (PCR). Tes tersebut menggunakan spesimen usapan hidung atau tenggorok. Namun, hasil negatif sering ditemukan pada pasien COVID–19 yang tidak bergejala. Selain itu, pemeriksaan PCR COVID–19 membutuhkan waktu 2–3 jam dan biaya operasional yang tinggi.
Kemudian, peneliti di China mengembangkan rapid test COVID–19 yang berfungsi mendeteksi antibodi terhadap infeksi COVID–19. Pemeriksaan tersebut menggunakan spesimen darah. Antibodi akan terbentuk bila 6–8 hari sebelumnya pernah terinfeksi COVID–19. Dalam hal ini, rapid test COVID–19 dapat mendeteksi COVID–19 yang tidak bergejala. Pemeriksaan rapid test COVID–19 membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan biaya operasional jauh lebih murah.
Dalam hal ini, tim HTA dapat menyarankan pemeriksaan PCR COVID–19 dari swab hidung atau tenggorok untuk kasus suspek COVID–19 dengan gejala. Sementara itu, rapid test lebih direkomendasikan untuk mendeteksi suspek COVID–19 yang tidak bergejala. Selain itu, rapid test COVID–19 juga lebih cocok jika digunakan untuk mendeteksi kasus COVID–19 secara masal.
Sebelumnya, klorokuin sering digunakan untuk pengobatan Malaria. Sampai akhirnya, penelitian tahun 2006 menyatakan bahwa klorokuin dapat digunakan sebagai antivirus yang dapat menekan jumlah virus penyebab COVID–19. Namun, klorokuin dapat menimbulkan efek samping yang serius.
Sebuah penelitian tahun 2018 menyatakan pasien yang mengkonsumsi klorokuin dapat mengalami gangguan jantung. Dalam hal ini, tim HTA dapat menyarankan penggunaan klorokuin untuk kasus COVID–19 dengan gejala berat atau kritis. Pemberian klorokuin juga harus dalam pemantauan dokter supaya kondisi gangguan jantung dapat ditangani dengan cepat.
Tulisan di atas merupakan contoh sederhana dari praktik HTA. Proses analisis HTA yang sebenarnya merupakan proses yang lebih kompleks. Selain itu, peran HTA sangat penting dalam penentuan kebijakan pemerintah. Terutama, dalam situasi pandemi COVID–19 yang menuntut pemerintah memberikan keputusan cepat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
*Dokter Spesialis Anak, relawan COVID–19 di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Banten, Alumni Universitas Indonesia (Master Health Technology Assessment, Universiteit Twente Belanda).
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja.
Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.
- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -