Editor: Agung Muhammad Fatwa
Oleh dr. Melati Arum Satiti, SpA, MSc*
Pada 16 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menyatakan total kasus COVID–19 di luar China telah melebihi total kasus covid–19 di Negara Tirai Bambu tersebut. Penyebaran covid–19 yang begitu cepat membuat negara–negara maju sekalipun tidak siap menghadapinya. Hal ini membuat negara–negara di dunia mencoba mencari jalan keluar melawan COVID–19.
Sampai dengan 19 Maret 2020, China dan Italia masih menjadi negara dengan jumlah kasus COVID–19 terbanyak di dunia. Rumah sakit di kedua negara tersebut tidak dapat menampung kasus covid–19 yang meningkat sangat cepat. Hal ini disebabkan jumlah penderita yang kritis jauh lebih besar daripada jumlah ruangan yang tersedia di Intensive Care Unit (ICU).
Professor Graham Medley, seorang ahli penyakit infeksi dari Inggris, dalam sebuah wawancara menerangkan bahwa virus SARS–CoV–2 akan terus ada di sekitar kita. Jumlah kasus covid–19 akan mengalami penurunan bila sudah terbentuk herd immunity atau kekebalam komunitas terhadap virus SARS–CoV–2.
Salah satu cara mewujudkan kekebalan komunitas adalah dengan pemberian vaksin. Namun, saat ini vaksin COVID–19 masih dalam pengembangan di beberapa negara, termasuk Inggris. Alternatif lainnya, kekebalan komunitas didapatkan dengan cara terinfeksi oleh SARS–CoV–2 secara alamiah.
Kasus COVID–19 yang kritis ditemukan pada kelompok risiko tinggi. Laporan ilmiah dari China menyatakan bahwa kelompok risiko tinggi adalah lansia dan orang–orang dengan penyakit penyerta yang dianggap memiliki sistem imun yang kurang baik. Professor Graham Medley mengatakan kelompok risiko tinggi seharusnya diisolasi. Sementara itu, orang–orang yang bukan kelompok risiko tinggi atau memiliki sistem imun yang baik, dipersiapkan untuk menghadapi wabah COVID–19.
Kelompok dengan sistem imun yang baik , diharapkan akan membentuk kekebalan setelah sembuh dari COVID–19. Penelitian tahun 2010 menyatakan bahwa kekebalan komunitas akan terbentuk setelah 80% dari total populasi mendapatkan kekebalan terhadap infeksi tersebut. Oleh sebab itu, setelah kekebalan komunitas terbentuk, kelompok risiko tinggi secara tidak langsung akan terlindungi dari COVID–19.
Namun, banyak masyarakat Inggris mengecam teori di atas karena dianggap tidak manusiawi. Selain itu, rumah sakit tetap akan dibanjiri oleh kasus covid–19 yang bukan dari kelompok risiko tinggi. Dalam hal ini, tenaga medis akan dibuat kewalahan menghadapi jumlah kasus covid–19 yang membludak. Akhirnya, pemerintah memperkenalkan teori flattan the curve dengan mengambil pelajaran dari pengalaman China dan Italia.
Bila diibaratkan dengan kurva dalam infografis di bawah ini maka kurva berwarna magenta menggambarkan yang terjadi di China dan Italia. Kurva magenta menggambarkan jumlah kasus covid–19 melebihi kapasitas rumah sakit sehingga angka kematian menjadi tinggi.
Untuk menghadapi pandemi ini, awalnya pemerintah Inggris hanya mengimbau masyarakat untuk menjaga kebersihan (cuci tangan, disinfektan, dan lain-lain). Selain itu, masyarakat yang sakit diimbau untuk melakukan isolasi diri di rumah paling tidak selama 7 hari. Namun, jumlah kasus covid–19 masih terus meningkat dengan cepat sehingga pemerintah Inggris mengubah strategi.
Pada 16 Maret 2020, pemerintah Inggris memutuskan untuk melakukan social distancing yang diganti dengan sebutan physical distancing oleh WHO. Pada saat itu, jumlah infeksi COVID–19 mencapai 1.395 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 35 orang. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk bekerja dari rumah dan menjaga jarak paling tidak 1–2 meter dalam melakukan aktivitas sehari–hari. Masyarakat diperbolehkan keluar bila tidak dapat bekerja dari rumah atau harus membeli bahan makanan.
Anak–anak masih diperbolehkan sekolah dengan tujuan menghindari kontak dengan kakek atau nenek yang masuk kategori risiko tinggi. Utamanya, anak-anak yang diasuh kakek-neneknya selama orang tua bekerja. Selain itu, masyarakat juga diimbau untuk menghindari tempat kerumunan seperti tempat wisata, klub malam, dll.
Professor Graham Medley menyatakan bahwa kasus COVID–19 pada kurva magenta dan hijau akan memiliki jumlah yang sama pada saat wabah berakhir. Dengan kata lain, masyarakat akan tetap terinfeksi COVID–19, namun tidak terjadi secara bersamaan dengan penerapan physical distancing. Walaupun wabah yang terjadi pada kurva hijau lebih lama, namun jumlah kasus COVID–19 tidak melebihi kapasitas rumah sakit.
Physical distancing dilakukan terutama untuk melindungi kelompok risiko tinggi. Langkah ini diharapkan dapat menekan angka kematian sehingga lonjakan kasus COVID–19 dapat dikontrol. Dengan demikian, jumlah kasus COVID–19 yang membutuhkan perawatan masih dapat ditampung oleh rumah sakit. Kemudian, pada saat wabah COVID–19 berakhir, kekebalan komunitas tetap terbentuk.
Pada 16 Maret 2020, Presiden RI membuat keputusan serupa dengan Pemerintah Inggris, yaitu memberlakukan physical distancing. Masyarakat diimbau untuk bekerja dari rumah, saling menjaga jarak, dan hanya keluar rumah bila keperluan penting. Pada saat itu, jumlah infeksi COVID–19 di Indonesia mencapai 117 kasus, dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 4 orang. Selain itu, pada hari yang sama, pemerintah Indonesia juga memutuskan untuk meliburkan sekolah selama 14 hari.
Lebih lanjut, pada 20 Maret 2020 pemerintah Indonesia memulai tahap pertama skrining COVID–19 menggunakan rapid test. Selain itu, pemerintah Indonesia juga menyiapkan obat untuk COVID–19 yaitu avigan dan klorokuin. Keputusan tersebut diambil berdasarkan penelitian dan pengalaman beberapa negara. Di hari yang sama, pemerintah Inggris mulai meliburkan sekolah, menutup tempat hiburan dan berencana melakukan pemeriksaan rapid test COVID–19 secara massal dalam waktu dekat.
Kebijakan yang saat ini diambil Pemerintah Indonesia mirip dengan Pemerintah Inggris. Tentunya, masing–masing negara memiliki kebijakan yang berbeda. Dengan kata lain, kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Inggris ataupun Indonesia belum tentu sepenuhnya sesuai dengan kondisi di negara lain. Dalam hal ini, pemerintah, tenaga kesehatan, peneliti, dan masyarakat dituntut untuk dapat terus bekerja sama dalam melawan musuh dunia saat ini, yaitu COVID–19.
*Dokter Spesialis Anak, Alumni Universitas Indonesia (Master Health Technology Assessment, Universiteit Twente Belanda).
**Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi dimana penulis bekerja.
Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.
- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -