Di Balik Stetoskop Dokter Anak Relawan COVID-19

21 Apr 2020
dr. Melati Arum Satiti, Sp.A., M.Sc.
Pengalaman
About 5 minutes
26 views
banner

Penulis: dr. Melati Arum Satiti, SpA MSc*

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Gambar 1 Ilustrasi dokter anak. Shutterstock/dok

Satu bulan lebih sudah, negara kita turut berperang melawan musuh dunia saat ini, COVID–19. Kepanikan yang terjadi di masyarakat pun membuat beberapa orang ikut membeli alat pelindung diri (APD) yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh tenaga medis. Kelangkaan APD pun tak terhindarkan, membuat banyak tenaga medis berpikir dua kali untuk mendaftar sebagai relawan COVID–19.

Di tengah krisis inilah, suatu hari saya dihubungi oleh teman sejawat. Katanya, sebuah RSUD rujukan khusus COVID–19 membutuhkan relawan dokter spesialis anak (DSA). Kebimbangan pun sempat menyelimuti. Belum lagi, perlu usaha cukup keras untuk mendapatkan izin dari suami dan orang tua.

Pertanyaan pertama yang muncul dari orang terdekat ketika mendengar saya hendak mengiyakan tawaran ini pun senada, “Apakah kamu tidak takut?”

Sejujurnya, pada minggu pertama saya bekerja di RSUD rujukan khusus COVID–19, rasa takut memang ada. Namun, keinginan saya untuk menggali informasi dan terlibat langsung menangani penyakit ini mampu mengalahkannya. Pertanyaan yang selalu menjadi motivasi bagi saya adalah, “Bagaimana bisa kita memenangkan peperangan kalau kita tidak tahu kelemahan musuh?”

Mayoritas kasus kritis COVID–19 dunia dilaporkan menyerang pasien  berusia ≥ 60 tahun atau pasien dengan penyakit penyerta. Namun demikian, kondisi tersebut bisa saja berbeda pada populasi Indonesia. Oleh sebab itu, walaupun belum terlalu mengenal musuh, paling tidak saya harus memperkuat pertahanan dengan APD. Saya harus paham betul cara menggunakan APD level C yang baik dan benar.

Mengabaikan Kenyamanan demi Keamanan

Pada hari pertama menggunakan APD, rasanya sangat sesak sehingga membuat saya sulit bergerak. Berbicara pun menjadi lebih sulit, sampai harus menaikkan volume agar suara yang terhalang masker berlapis dapat terdengar. Penggunaan sarung tangan berlapis pun membuat kegiatan sederhana seperti menulis menjadi lebih sulit. Namun demikian, demi keamanan bersama, kami harus menomorduakan kenyamanan diri.

Raut ketakutan pun menghiasi wajah anak-anak setiap saya memasuki ruang perawatan. Barangkali, dalam pikiran mereka, saya dan tenaga medis lainnya adalah tokoh jahat seperti di film–film. Menghadapi anak-anak yang ketakutan ini pun membuat proses pemeriksaan memakan waktu lebih lama dari biasanya. Terlebih dahulu, saya dan tenaga medis lain harus menenangkan mereka agar tidak meraung atau berontak selama pemeriksaan.

Kulit yang mudah mengelupas serta munculnya luka-luka adalah dampak lain yang saya rasakan pada beberapa hari pertama bertugas. Hal ini karena selama menjadi relawan COVID–19, saya mandi dan cuci tangan lebih sering dari biasanya. Setelah membersihkan diri pun, saya tidak sempat melakukan hal lain karena terlampau lelah. Akhirnya, selepas membersihkan diri saya selau tertidur, sembari berharap esok keadaan akan segera membaik.

Paranoid pun seringkali tak terhindarkan. Ketika muncul gejala pilek, batuk, atau sesak napas, otomatis kekhawatiran tertular pun menyelimuti. Padahal, bisa saja penyebabnya adalah debu atau udara dingin bukan karena COVID–19. Kemudian saya berpikir, jika saya yang merawat menggunakan APD lengkap saja menyimpan kekhawatiran sebesar ini, bagaimana kiranya yang dirasakan rekan-rekan di tempat lain, yang mungkin tidak mendapatkan APD yang layak?

Oleh sebab itu, saya mengapresiasi upaya rumah sakit tempat saya bertugas yang selalu menyediakan APD dan hand sanitizer. Selain itu, rumah sakit juga menyediakan makanan dan vitamin supaya kesehatan para relawan tetap terjaga. Pihak rumah sakit pun selalu responsif terhadap masalah–masalah teknis yang dihadapi oleh tenaga medis. Harapan saya, fasilitas serupa juga bisa didapatkan rekan-rekan medis di daerah lain.

Berusaha Terbiasa dengan Keadaan

Kini, tanpa terasa hampir 3 minggu sudah saya menjadi DSA relawan di RSUD rujukan khusus COVID–19. Memakai APD level C sudah tidak terasa terlalu menyesakkan karena sudah tahu cara mengontrol pernapasan. Berbicara, bergerak, dan menulis juga sudah tidak lagi terasa sulit sebab telah terbiasa.

Siasat dan trik untuk membuat pasien anak lebih nyaman kini telah saya dan tenaga medis lain kuasai. Proses pemeriksaan menjadi lebih mudah sebab anak-anak tidak lagi ketakutan.

Kulit kering pun tak lagi menjadi masalah sebab ada pelembab yang kini menjadi sahabat. Karena sudah terbiasa dengan keadaan, kini sesampainya di rumah pun saya masih cukup berenergi untuk melakukan pekerjaan rumah.

Perasaan paranoid terinfeksi COVID–19 juga sudah tidak pernah muncul lagi. Dengan segala upaya perlindungan yang telah rumah sakit berikan dan saya lakukan, saya yakin, semua akan baik-baik saja. Kiranya, mau tak mau kita harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini.

Pada 19 April 2020, Indonesia melaporkan 6575 kasus COVID–19 positif dengan angka kematian 7,1%. Keresahan di media sosial juga sudah mulai berkurang. Media online juga mulai memberikan kabar yang positif. Harapan kami, semoga situasi seperti ini dapat berlangsung terus sampai wabah COVID–19 ini berakhir.

Walaupun situasi sudah lebih tenang, kami berharap masyarakat tetap waspada dengan tetap menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sesuai imbauan pemerintah. Dengan ikut menerapkan PSBB, Anda secara tidak langsung membantu kami, tenaga medis, untuk menurunkan potensi bertambahnya hilangnya nyawa akibat COVID–19.

*Dokter Spesialis Anak, relawan COVID–19 di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Banten,

dr. Melati Arum Satiti, SpA, MSc merupakan alumni kedokteran Universitas Indonesia dan Master Health Technology Assessment, Universiteit Twente, Belanda.

**Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Referensi

  1. Wu Z, McGoogam JM. Characteristic of and important lessons from the coronavirus disease 2019 (COVID–19) outbreak in China: summary of a report of 72314 cases from the Chinese center for disease control and prevention. JAMA. 2020:1–4. https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762130.
  2. Departemen of Health and Human Services. Chemical hazards emergency medical management. United States: Departemen of Health and Human Services. 2020. [diakses pada April 2020]. Tersedia di https://chemm.nlm.nih.gov/ppe.htm.
  3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Infeksi emerging. Indonesia: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. [diakses pada April 2020]. Tersedia di https://infeksiemerging.kemkes.go.id/.

Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.

- dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc -