Dokter Spesialis Anak yang Bagus Seperti Apa?

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Dokter anak sedang memeriksa seorang anak perempuan. Shutterstock/dok

Oleh dr. Melati Arum Satiti, SpA MSc*

Saya sering mendapatkan pertanyaan dari teman–teman, “Mel, dokter spesialis anak yang bagus siapa?” Saya sendiri pun bingung menjawabnya, terutama kalau sudah langsung meminta nama. Karena saya lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dokter yang saya rekomendasikan akhirnya guru–guru saya sendiri. Dalam hal ini, tidak ada unsur nepotisme. Alasan merekomendasikan mereka karena saya sudah tahu cara mereka dalam menangani pasien.

Ada kalanya saya kesulitan ketika diminta memberikan rekomendasi dokter spesialis anak (DSA) kepada teman–teman yang tinggal di luar Jabodetabek. Padahal, pada dasarnya, sebelum menjadi DSA, setiap calon dokter harus melakukan ujian kompetensi. Jika sudah lulus, dokter tersebut sebenarnya sudah dianggap mampu menangani kasus terkait kesehatan anak. Namun, terkadang para orang tua menganggap definisi DSA yang bagus juga mencakup aspek sosialnya. Dalam hal ini, World Health Organization (WHO) mengimbau setiap DSA untuk dapat menjadi five–star doctor. Secara sederhana, kriteria yang dapat digunakan untuk menggambarkan DSA yang bagus sebagai berikut.

Penyedia Pelayanan Kesehatan & Perawatan (care provider)

Seorang DSA harus memberikan pelayanan kesehatan anak secara menyeluruh, baik dari segi fisik, mental, maupun sosial. Dalam setiap kunjungan, seorang DSA akan melakukan pemeriksaan terkait pertumbuhan, perkembangan, imunisasi terakhir, tanda vital, hingga keluhan yang dirasakan anak saat kunjungan. Pemeriksaan ini penting dilakukan, terutama untuk anak berusia 0-2 tahun dengan tujuan optimalisasi “golden period”.

Ketika memeriksa pertumbuhan anak, seorang DSA harus mengukur berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala anak. Sementara itu, aspek yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan perkembangan anak, antara lain personal-sosial, motorik kasar, motorik halus, hingga bahasa yang digunakan. Biasanya, dalam pemeriksaan ini DSA akan menanyakan, “Sudah bisa apa saja sekarang?” Sementara itu, adapun tanda vital yang perlu diperiksa dalam setiap kunjungan adalah suhu, denyut jantung, frekuensi napas, dan saturasi oksigen.

Pengambil Keputusan (decision maker)

Seorang DSA juga harus memikirkan efektivitas dan biaya dalam penanganan penyakit. Bila ditemukan kecurigaan terhadap suatu penyakit, DSA akan menyarankan pemeriksaan atau terapi pasien sesuai dengan penyakitnya saja. Dalam hal ini, urutan pemeriksaannya dilakukan berdasarkan prioritas.

Lebih lanjut, DSA yang baik juga harus memikirkan aspek sosial dalam pengambilan keputusan. Contohnya, ketika pasien anak harus melakukan pemeriksaan darah A, B dan C sekaligus, DSA sebaiknya memberikan instruksi agar pengambilan darah dapat dilakukan pada waktu yang sama agar anak tidak perlu merasakan suntikan jarum berkali-kali.

Komunikator yang Baik (communicator)

Setiap pasien berhak untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya. Oleh sebab itu, DSA juga bertanggung jawab memberikan informasi yang bermanfaat untuk kesehatan pasien. Dalam hal ini,  DSA akan memberikan transparansi informasi mengenai hasil pemeriksaan, baik yang normal maupun yang tidak normal, diagnosis penyakit, serta rencana pemeriksaan dan terapi. Dengan kata lain, orang tua berhak mendapatkan infomasi sejelas–jelasnya terkait kesehatan anaknya, termasuk kemungkin terburuk.

Selama penyampaian berita buruk, DSA akan memberikan respons empati terhadap emosi orang tua pasien.  Kemudian, dalam hal pemilihan terapi, DSA dan orang tua dapat mengalami perbedaan pendapat. Namun, orang tua tetap memiliki kuasa untuk mengambil keputusan. Setelah memberikan informasi mengenai konsekuensi bila dilakukan tindakan atau tidak dilakukan tindakan, DSA akan mengembalikan keputusan kepada orang tua.

Pengelola Manajemen (manager

DSA juga dapat bekerja sama dalam tim dengan tujuan memberikan pelayanan yang terbaik. DSA umum dan DSA konsultan memiliki kompetensi yang berbeda. Oleh karena itu, DSA diimbau untuk dapat bekerja sama dalam tim, terutama dalam penanganan penyakit kompleks. Masing–masing DSA sudah dibekali pengetahuan kapan harus merujuk pasien. Dalam hal ini, DSA umum berada di garis depan dalam pelayanan spesialis anak. Kemudian, pada kasus yang kompleks, DSA umum akan merujuk pasien ke DSA konsultan, sesuai dengan diagnosis penyakitnya.

Di sisi lain, DSA konsultan pun dapat menerima pasien dengan kondisi sangat kompleks sehingga membutuhkan DSA konsultan lain untuk merawat pasien bersama. Adapun daftar DSA konsultan, antara lain Respirologi atau pernapasan; Endokrinologi atau kelenjar dan organ pembuat hormon; Gastrohepatologi atau pencernaan dan hati; Hematologi Onkologi atau darah dan kanker; Infeksi dan Penyakit Tropis; Pediatri Gawat Darurat atau Emergensi dan Rawat Intensif Anak; Kardiologi atau jantung; Nefrologi atau ginjal; Nutrisi dan Penyakit Metabolik atau gizi; Radiologi; Neurologi atau saraf; Perinatologi atau bayi baru lahir; Alergi Imunologi; dan Tumbuh Kembang Pediatri sosial.

Demikian penjelasan yang dapat orang tua gunakan sebagai rujukan dalam memilih DSA. Hubungan baik antara DSA dan orang tua dapat meningkatkan kepatuhan berobat pasien. Oleh sebab itu, sebaiknya orang tua memilih DSA yang dapat membuat mereka merasa nyaman dan percaya.

Referensi

  1. Boelen C. The five star–doctor: An asset to health care reform?. Geneva: World Health Organization. 2002. [diakses pada Februari 2020]. Tersedia di: https://www.who.int/hrh/en/HRDJ_1_1_02.pdf
  2. Scwarzenberg SJ, Georgieff MK. Advocacy for improving nutrition in the first 1000 days to support childhood development and adulth health. Pediatrics. 2018;141:1–8.
  3. Kemp C. American academy pediatrics conference preview: tips for breaking bad news to patients, parents. United States: AAP News. 2016. [diakses pada Februari 2020]. Tersedia di: https://www.aappublications.org/news/2016/10/07/NCEBadNews100716
  4. Katkin JP, Kressly, Edwards AR, Perrin JM, Kraft CA, Richerson JE, et al. Guiding principles for team – based pediatric care. Pediatrics. 2017;140:1–7.

*Dokter Spesialis Anak, Alumni Universitas Indonesia

Reading is a process of acquiring knowledge through writings, while writing is a process of combining knowledge to create readings.

– dr. Melati Arum Satiti, Sp.A, M.Sc –